Director's Memo
Kakek Saya Memutuskan untuk Tinggal di Indonesia
“Orang Jepang, pokoknya mereka mengambil semuanya. Orang Belanda sendiri mereka mengambil apa yang sudah ditentukan, akan tetapi Jepang tiba-tiba datang dan tanpa ada basa-basi mereka mengambil semuanya. Saya menaruhkan nyawa saya di depan bala tantara Dai-Nippon karena disuruh naik pohon kelapa untuk mengambil buah kelapa. Padahal waktu itu saya memanjat dan mengambil buah kelapa di depan si pemilik pohon kelapa” “Orang Jepang pun, orang Belanda pun, mereka pernah melewati jalan yang anda sekarang lewati dengan menggunakan sepeda anda. Karena pakaian kami semua di ambil oleh mereka, maka kami hanya bisa pakai pakaian yang terbuat dari karung beras. Saya pun pernah dipaksa untuk membantu membuat markas di pinggir pantai” Saya mencoba mencari tahu tentang keadaan pada saat perang dunia kedua terjadi pada beberapa orang yang tinggal di desa-desa yang ada di Aceh. Ada orang yang bercerita bahwa, “Jepang adalah sahabat yang berhasil mengusir Belanda. Saya belajar lagu dan senam dari tantara Dai-Nippon, juga pernah di tangkapkan seekor burung yang kabur untuk saya, sungguh pengalaman yang indah” begitu ceritanya. Akan tetapi, lebih banyak orang yang menganggap bahwa tentara Dai-Nippon merupakan penjajah. Ketika bertanya ke beberapa orang pun pasti jawabannya “Ada beberapa saudara kami yang tidak pulang lagi karena dibawah oleh tantara Dai-Nippon”. Ketika akan memulai kegiatan Art Project di Indonesia, saya merasakan bahwa sejarah tentang Jepang seperti ini tidak boleh dilewatkan. Sambil melanjutkan project dengan anak-anak muda Aceh, saya pun melakukan beberapa kegiatan interview dengan orang-orang yang menjadi saksi hidup jaman Jepang dulu, kemudian saya pun diberikan kesempatan untuk berkunjung ke beberapa tempat peninggalan bala tantara Dai-Nippon dan lokasi-lokasi tempat pendaratan bala tantara Dai-Nippon di Aceh. Akan tetapi, melihat hal seperti ini, justru saya menjadi tidak mengerti tentang apa yang harus dilakukan. Kalau saya menceritakan kepada mereka tentang hasrat keingin tahuan saya mengenai perang dunia ke dua, mungkin menurut orang Aceh akan lebih menderita dan lebih teringat dalam benak mereka tentang perang Aceh. Mungkin juga mereka akan pikir bahwa ini hanyalah sebatas untuk kepuasan saya sendiri apabila saya ingin bertanya tentang kejadian pada saat perang dunia kedua itu. Dalam keadaan seperti itu, saya bertemu dengan seorang gadis bernama Maulida Rahma yang ternyata Kakeknya adalah seorang mantan anggota bala tantara Dai-Nippon. Menelusuri Sebuah Skenario Pertama kali saya bertemu dengan Rahma adalah pada saat musim panas tahun 2018. Pada bulan Desember tahun 2017 saya mengendarai sepeda sepanjang 200 km di pantai barat Aceh yang dulunya memiliki dampak yang paling besar oleh bencana tsunami yang berpusat di lautan Sumatera. Pada saat gempa dan tsunami yang terjadi di laut Timur Jepang, saya yang waktu itu berada di rumah yang ada Prefektur Shiga dan letaknya jauh dari Sendai. Kemudian dengan menggunakan kereta lalu dilanjutkan dengan menggunakan sepeda saya berusaha pulang ke rumah yang ada di Sendai. Pada saat itu jarak yang ditempuh dengan menggunakan sepeda sampai ke Sendai adalah 200 kilometer. Dari 2 pengalaman cerita tentang bencana di atas, saya sendiri ingin sekali mengingat kembali pengalaman saya akan bencana gempa yang ada di Tohoku dan juga ingin merasakan bagaimana rasanya bencana gempa yang terjadi pada waktu itu di Aceh. Oleh karena itu saya terbang ke Aceh dengan membawa sepeda saya yang waktu itu pernah saya pakai ketika mencoba untuk pulang ke Sendai dengan jarak 200 kilometer itu. Kemudian pada saat saya mencari titik keberangkatan saya menaiki sepeda dengan tujuan akhir yaitu Kota Banda Aceh yang jaraknya 200 km ternyata mata saya tertuju kepada satu daerah yang bernama Meulaboh. Jadi sebenarnya kenapa saya memilih daerah ini hanyalah karena kebetulan Semata. akan tetapi selanjutnya, ternyata skenario hidup ini tertuju dan berlanjut kepada hal-hal yang diluar dugaan yang saya temukan di depan. Meulaboh merupakan kota yang berada di Aceh bagian barat dan di kota ini terdapat fasilitas pemerintahan provinsi juga kota ini ini dekat sekali dengan Titik pusat gempa apa yang terjadi pada tahun 2004 lalu. Pada saat gempa Aceh tahun 2004 lalu dari jumlah 120.000 penduduk Meulaboh, 40.000 penduduk meninggal dunia karena gempa dan tsunami. Di kota ini pula, terdapat sebuah lembaga yang dibentuk oleh mantan tenaga kerja training yang sudah berangkat ke Jepang Dengan nama forum Aceh dan Jepang. Forum ini pun berencana merancang berbagai macam kegiatan yang berkaitan dengan pertukaran antara Aceh dan Jepang. Kami pun mendapatkan sambutan yang sangat baik sekali dari pihak forum Aceh dan Jepang. Kemudian kami mendapati salah satu banner yang terpampang di bangunan balai kota sebagai salah satu wujud sambutan mereka kepada kami. Lalu kami bertukar kartu nama sambil mendengarkan pembacaan puisi dan juga menikmati sambutan berupa tarian daerah. Ketika akan memulai gowes sepeda jarak 200 kilometer itu, banyak sekali orang-orang yang mengiringi saya sambil mengendarai sepeda. Ketika Bapak Walikota mengibarkan bendera tanda gowes sepeda dimulai, kami diiringi oleh mobil patrol polisi sampai ke luar kota Meulaboh. Atas wujud terima kasih kepada mereka, pada musim panas tahun 2018, saya kembali datang ke Meulaboh. Pada saat saya kembali datang ke Meulaboh itu, tidak sengaja saya bertemu dengan Rahma. Pertama kali, ketika bertemu dengan Rahma, Rahma adalah seorang mahasiswi yang harus pergi bulak balik dari rumahnya di Meulaboh untuk menempuh pendidikan di universitas yang ada di Banda Aceh. Pada saat kali kedua saya datang ke Meulaboh itu, Rahma ikut menemani saya dalam mengunjungi beberapa situs peninggalan tsunami dan beberapa tempat pariwisata. Kemudian di sore hari, ketika semua kegiatan usai, tiba-tiba saja Rahma bercerita bahwa kakeknya adalah seorang anggota bala tantara Dai-Nippon. Keesokan harinya, ayahanda dari Rahma yang bernama Bapak Iskandar datang mengunjungi saya. Beliau adalah anak pertama dari Bapak Ishikawa Nobuaki yang tidak lain merupakan mantan anggota bala tantara Dai-Nippon yang memilih untuk tinggal di Indonesia. Bapak Iskandar bercerita bahwa pada saat beliau kecil, ayahnya sudah meninggal dunia. Saya pun mendengar cerita dari Bapak Iskandar, berdasarkan apa yang tertulis pada keterangan mata pencaharian beliau di kartu tanda penduduk, bahwa ayahnya yang bernama Bapak Nobuaki ini merupakan seorang pemilik toko obat. Akan tetapi, Bapak Iskandar bercerita bahwa pasien yang datang meminta tolong kepada Bapak Nobuaki lebih banyak daripada pasien yang datang ke rumah sakit. Bapak Nobuaki pun dulu sering berkeliling dengan menggunakan sepeda dan mencari pasien yang membutuhkan pertolongab beliau meskipun beliau tidak diberikan upah sepeser pun. Yang paling mengagetkan adalah mengenai cerita Bapak Iskandar sendiri. Beliau dengan kakaknya yang bernama Bapak Ismail pernah berkunjung ke rumah keluarga mereka dari keturunan Bapak Nobuaki di Jepang pada tahun 1987. Merasakan Keberadaan Keluarga di Jepang Pada tahun 1979, didirikan sebuah lembaga yang menaungi para mantan anggota bala tantara Dai-Nippon yang memilih untuk tinggal di Indonesia. lembaga tersebut bernama “Fukushi Yuu No Kai”. Penggagas dari lembaga ini adalah seorang mantan bala tantara Dai-Nippon yang bernama Bapak Otsuto Noboru. Bapak Noboru ini pernah bergabung juga dengan satuan tentara perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda di Aceh.Di lembaga ini, beliau menuliskan laporan bulanan dan Menyusun daftar nama anggota juga Menyusun kegiatan pertukaran dengan Jepang. Di Jepang pun terdapat lembaga kerjasama yang mendukung lembaga “Fukushi Yuu No Kai”ini dan pada tahun 1982 terwujudlah sebuah “pulang kampung” pertama. Pada waktu itu, para mantan bala tentara Dai Nippon yang memilih tinggal di Indonesia untuk pertama kalinya pulang ke Jepang. Hal ini menjadi sorotan berita utama baik di televisi maupun media masa. Semua perhatian tertuju kepada mereka. Dengan adanya berita tersebut yang ditulis di media massa, saudara dari pihak Bapak Nobuaki mengirimkan surat berbahasa Inggris yang tertuju kepada Bapak Iskandar dan Bapak Ismail yang ada di Meulaboh. Pengirimnya bernama Bapak Niwayama Hideo, seorang pengajar di Chukyo University yang berarti bahwa Bapak Iskandar dan Bapak Ismail adalah sepupu dari Bapak Niwayama itu sendiri. Mereka berdua pun menuliskan bahwa ingin bertemu dengan Bapak Niwayama dalam isi surat balasan mereka. Mereka pun dengan sungguh-sungguh bekerja keras agar bisa membeli tiket untuk bisa pergi ke Jepang dan akhirnya mereka mendapatkan tiket itu. Tanpa ada rencana yang pasti, mereka akhirnya rela untuk pergi dengan tekad kuat ke Jepang. Singkat kata, dengan segala kejadian yang tidak pernah di duga dan tidak pernah di rencanakan, akhirnya Bapak Iskandar dan Bapak Ismail bisa berkunjung ke rumah keluarga dari Bapak Nobuaki di Prefektur Nigata Kota Kashiwazaki (pada waktu itu mereka berdua juga meminta tolong kepada Ayahanda dari Bapak Panlima yang sedang bertugas di Jepang dengan secara kebetulan juga ikut membantu dan menemukan keluarga Bapak Nobuaki). Semuanya itu terjadi pada akhir tahun 1987. Pada saat itu, Bapak Iskandar dan Bapak Ismail di jemput sampai di Tokyo, kemudian diajak ke berbagai tempat dan rumah sanak keluarga di Niigata yang salah satunya adalah di rumah Bapak Takahashi Tameji. Bapak Tameji adalah adik dari Bapak Nobuaki. Sebenarnya keluarga Bapak Nobuaki sendiri ada delapan bersaudara. Bapak Tameji ini membuka drive-in tempat makan di samping jalan raya dan pada saat Bapak Iskandar dan Bapak Ismail berkunjung ke tempat makan tersebut bentuknya masih sama. Ternyata usaha tempat makannya masih berlanjut sampai sekarang. Pada saat kunjungan Bapak Iskandar dan Bapak Ismail ke Jepang, mereka tinggal di rumah keluarga Bapak Tameji ini. Mereka berdua pun di ajak dalam kumpulan kegiatan yang diadakan oleh lembaga veteran perang. Mereka pun untuk beberapa hari tinggal di rumahnya keluarga Ishikawa yang dahulu tempat Bapak Nobuaki tinggal. Akan tetapi, karena Bapak Iskandar dan Bapak Ismail datang dari negara tropis, untuk tinggal di tempat yang saljunya lebat dan cuacanya sangat dingin ini merupakan sebuah hal yang mungkin menyulitkan bagi mereka berdua. Masa kunjungan mereka selama dua sampai tiga minggu di Jepang dihabiskan dengan banyak kegiatan dan kunjungan ke rumah saudara mereka. Kemudian suatu hari beberapa saudara mereka menanyakan kepada Bapak Iskandar dan Bapak Ismail mengenai apa sebenarnya tujuan mereka untuk datang ke Jepang. “Karena tidak ingin hubungan keluarga terputus begitu saja”, begitu jawab Bapak Iskandar dan Bapak Ismail. Lantas keluarga Jepang mereka berkata, “kalau begitu, bukan karena ingin menagih warisan dari keluarga kami ya?!”. Lain hal dengan Bapak Tameji yang sudah memberikan Bapak Iskandar dan Bapak Ismail tempat tinggal selama di Jepang. “Selama saya hidup, hubungan kita tidak boleh terputus sebagai saudara (karena kalau sudah meninggal hubungan keluarga pasti akan terputus)”, begitu pesan beliau. Permasalahan Perkembangan Pribadi Mendengar hal itu, Bapak Iskandar bertanya kepada saya, “Apakah budaya jepang memang seperti itu? Apakah keluarga tidak memberikan pesan atau pendidikan kepada anak-anaknya mengenai arti dari keluarga itu sendiri?” Disinilah mulai banyak sekali kesalah pahaman yang muncul. Mendengar akan pertanyaan yang di utarakan oleh Bapak Iskandar itu, sebenarnya akan seperti apa nantinya kalau dijawab itu tidak penting bagi saya, akan tetapi saya menjadi teringat akan kebenaran yang saya lihat dan rasakan sendiri. Sebagai orang Jepang sendiri ketika ditanyakan seperti itu rasanya telinga menjadi sakit. Sungguh malu. Contohnya, ketika saya bercerita tentang fakta kehidupan orang-orang lansia yang hidup sendirian di pemukiman sementara pasca bencana gempa bumi dan tsunami 2011 lalu, orang-orang Indonesia langsung menunjukkan wajah kaget tidak percaya seolah-olah berkata, “tidak mungkin” atau “tidak bisa dimengerti”. Keluarga harusnya merupakan tempat dimana saling keterkaitan satu sama lain kuat terjaga. Apabila dalam keluarga itu tidak ada keharmonisan dan kerukunan, suasana akan terasa tidak baik. Hal itu bisa terjadi dari permasalahan diri sendiri yang sulit untuk bisa diselesaikan. Sepulang saya dari Meulaboh, sembari melamun di dalam mobil, perkataan Bapak Iskandar terus ada di dalam benak saya dan tidak bisa hilang. Ketika saya kembali ke Jepang, sambil mengurusi persiapan Rahma yang akan berkunjung ke Jepang, akhirnya sedikit demi sedikit beberapa hal menjadi jelas. Pada akhirnya, keluarga Jepang Rahma akan menjemput Rahma. Namun sebenarnya, dibalik itu semua, karena kami pergi mencari keluarga Rahma dengan Bapak Watanabe dari Chikyu Taiwa Labo, ketika kita mulai Menyusun rencana mengenai kegiatan Rahma di Jepang, tiba-tiba beberapa anggota keluarga memberikan pesan, “jangan dulu datang ke rumah kami” atau “kali ini jangan dulu ya”. Padahal menurut saya, ada keluarga satu darah dari negara lain yang mau datang bertemu justru harusnya senyang. Hal ini pun sebenarnya terjadi pada saya. 27 tahun yang lalu, pernikahan saya tidak disetujui oleh keluarga saya sendiri. Sehingga keluarga saya memutuskan untuk tidak bertemu lagi dengan saya sampai sekarang. Sampai sekarang saya berpikir untuk tidak bertemu seperti itu merupakan pilihan yang terbaik. Sebelumnya juga, saya pernah bercerita juga kepada salah satu perwakilan anggota Aceh Community Art Consortium yang bernama Bapak Hanafi mengenai hubungan saya dengan keluarga saya sendiri. Ketika mendengar bahwa saya sudah beberapa puluh tahun tidak bertemu dengan keluarga saya, Bapak Hanafi pun sontak kaget. Pada musim panas tahun 2019, dalam memperingati tahun ke empat dari kegiatan Art Project ini, saya melakukan interview kepada 20 orang anggota penyelenggara. Interview tersebut salah satunya menanyakan tentang pendapat pribadi mengenai, “Hal yang baik dan hal yang buruk tentang Jepang”. Bapak Hanafi yang pernah memiliki pengalaman sebagai tenaga kerja kenshuusei di Jepang pun menjawab, “Kejelekan dari orang Jepang itu sendiri adalah, selama bertahun-tahun orang Jepang tidak pernah menemui keluarganya dan hal itu sudah dianggap lumrah”. Bapak Hanafi pun melanjutkan,”Yang jelek dari Jepang itu adalah hubungan keluarganya. Itu yang ingin saya katakana. Saya yang orang Indonesia ini, hubungan keluarga kami sangatlah baik. Meskipun ada anggota keluarga yang bersifat jelek. Akan tetapi hampir semuanya berperilaku baik. Kami menghormati kedua orang tua kami. Jangan pernah dan tidak boleh berbuat jelek dan tidak sopan kepada ayah dan ibu kami. Dalam aturan agama Islam, apabila bertengkar tidak boleh lebih dari tiga hari. Dalam waktu tiga hari harus segera berbaikan. Apabila lebih dari tiga hari tetap tidak berbaikan, maka Allah akan memberikan cobaan dan balasan. Kami percaya akan hal itu. Kalau saling tidak berbicara satu sama lain pun, harus tidak boleh lebih dari tiga hari. Semakin lama tidak rujuk, semakin jelek imbasnya kepada kita. Orang Jepang memang budayanya berbeda dengan budaya negara kami. Saya sendiri pernah melihatnya secara langsung. Ketika saya bertanya tentang dimana saudara kandungnya, jawabnya malah tidak tahu. Segampang itu menjawab dari mulutnya. Tolong dengar sekali lagi, apakah anda ingin berpisah dengan keluarga anda? Padahal anda dilahirkan dari buah cinta mereka. Tolong resapi di dalam hati. Anda aneh sekali. Dari anda lahir sampai anda dewasa, Ayah dan Ibu anda lah yang mendidik dan mengurus anda. Kemudian dengan keegoisan anda sendiri, anda pergi menghilang entah kemana. Itu sangat tidak baik. Dalam sebuah keluarga, saudara satu sama lain ada dalam pelukan dan tempat yang sama ketika anda tumbuh menjadi dewasa. Keluar dari sebuah keluarga yang sama tapi anda menjadi lupa akan hal itu. Sangatlah aneh apabila anda jauh dan tidak bertemu dengan keluarga sampai berpuluh-puluh tahun lamanya. Sampai anda lupa wajah adik perempuan anda. Sangat aneh”. Ishikawa Nobuaki dan Tentara Dai-Nippon yang Memutuskan Tinggal Dibagian ini saya akan mencoba menceritakan dan merunut cerita mengenai Bapak Ishikawa Nobuaki, Ayah daripada Bapak Iskandar berdasarkan beberapa informasi yang saya dapatkan. Bapak Ishikawa Nobuaki lahir pada tahun 1916 (Tahun Taisho ke enam) di Prefektura Niigata Kota Kashiwazaki Desa Kojima dari Ayah yang bernama Suematsu dan Obu yang bernama Min. Bapak Nobuaki merupakan anak ketiga laki-laki dari total delapan bersaudara. Desa Kojima ini sendiri terletak 10 kilometer dari pusat kota dengan letak di tengah-tengah daerah pegunungan. Sebenarnya tanah tempat tinggal mereka adalah hasil dari jerih payah buka lahan yang dilakukan oleh Bapak Suematsu dan Istrinya, Min. Pada jaman itu, perkawinan yang ditentukan oleh pihak orang tua merupakan sebuah hal yang lumrah, akan tetapi karena mereka berdua memutuskan untuk menikah bersama tanpa ada perjodohan yang dilakukan oleh orang tua mereka, oleh karena itu mereka lari dari rumah dan membangun keluarga mereka dari awal. Jika dirunut dari awal mengenai sejarah awal masuknya Bapak Nobuaki ke dunia militer, bahwa Bapak Nobuaki yang waktu itu masih berumur 22 tahun mendaftarkan dirinya secara sukarela sebagai anggota bala tentara Dai-Nippon pada tahun 1938 (Tahun Showa 13). Kemudian pada saat itu, Bapak Nobuaki beserta anggota militer lainnya pergi diberangkatkan dari Hiroshima dan kemudian pada bulan Maret tanggal 10 sampai di Harbin. Beliau disana masuk ke dalam satuan lembaga inteligent altileri gelombang pertama. Di tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 1939 (Tahun Showa 14) bulan mei, muncul sebuah peristiwa yang bernama pertempuran Nomonhan (disebut juga dengan pertempuran Khalkhyn Gol). Berkaitan dengan pertempuran itu, pada tahun yang sama, pada bulan Juli tanggal delapan Bapak Nobuaki mendapatkan tugas untuk berangkat ke Hailar. Bapak Nobuaki pun berada di medan perang sampai 28 September. Namun, dikarenakan kekalahan di pihak bala tentara Dai-Nippon sendiri, maka pertempuran tersebut berakhir. Hal ini kemudian membuat Bapak Nobuaki untuk pergi meninggalkan Hailar pada 28 September, kemudian pergi ke Harbin. Selanjutnya, pada Januari 1941, karena masa tugasnya dalam satuan militer sudah selesai, maka beliau tetap memilih untuk bekerja dalam satuan militer sebagai anggota cadangan. Hanya itu saja yang ada dalam catatan kemiliteran yang berkaitan dengan beliau. Tidak ada catatan lain yang menjelaskan mengenai jejak Bapak Nobuaki pada saat perang dunia kedua terjadi. Berdasarkan dokumen yang di pegang oleh Bapak Iskandar sendiri, Bapak Nobuaki adalah seorang anggota militer pada saat perang terjadi. Berdasarkan data yang dibuat oleh Departemen Ketenagakerjaan Jepang mengenai warga Jepang yang tidak kembali pasca perang dunia kedua berakhir, Bapak Nobuaki bertugas sebagai petugas kontrol gudang militer. Pada 6 Agustus 1945, Beliau ikut bertugas di daerah Asahan, Sumatera untuk mengurusi perkebunan karena statusnya sebagai mantan anggota militer yang ikut berperang dan sudah dibebaskan. Kemudian pada saat terjadi perang kemerdekaan Republik Indonesia, Bapak Nobuaki pun ikut bergabung dalam pertempuran melawan Belanda. Setelah masa perang usai, diperkirakan ada 900 orang mantan anggota bala tentara Dai-Nippon yang memilih untuk tinggal di Indonesia dan tidak kembali pulang ke Jepang. Dalam jumlah itu, terdapat kira-kira 250 orang mantan anggota bala tentara Dai-Nippon yang ada di Sumatera. Para mantan anggota militer Dai-Nippon ini yang ikut tinggal pada masa-masa pertempuran kemerdekaan di wilayah Aceh, bersama mantan tentara lainnya ikut bergabung dalam lembaga intel militer rahasia yang ada di Singapura. Mereka yang tergabung dalam lembaga tersebut terus bertambah dan ada juga yang kembali. Meskipun perang sudah berakhir pun, untuk anggota lembaga intel militer rahasia yang dilatih perang gerilya banyak yang tertahan di Aceh. Dari beberapa anggota intel militer rahasia yang tertahan di Aceh itu, ada satu orang Jepang yang bernama Bapak Kishiyama Yuuji. Bapak Kishiyama ini mendapatkan kepercayaan dari rakyat Aceh untuk mendirikan sebuah sekolah pendidikan gerilya di sebuah perkebunan dekat daerah Langsa. Bersama dengan mantan bala tentara Dai-Nippon lainnya yang berjumlah 11 orang, mereka mengajar di sekolah itu. Mereka melakukan proses perekrutan terhadap generasi muda Aceh, melatih merakit bahan peledak, dan juga mengajarkan ilmu-ilmu militer. Hal-hal seperti ini dapat di jumpai di beberapa tempat lainnya. Oleh karena itu, Bapak Watanabe dari NPO Chikyuu Taiwa Labo membuat suatu kesimpulan bahwa Bapak Nobuaki pun adalah salah satu anggota dari lembaga intel militer dan memilih untuk tinggal di Aceh. pada tahun 1950, pada saat perang melawan Belanda berakhir, pemerintah Indonesia memiliki kekhawatiran terhadap para mantan anggota militer Dai-Nippon yang ikut berperang di Aceh. Oleh karena itu, kurang lebih 100 orang mantan anggota bala tentara Dai-Nipppon yang ada di pulau Sumatera semuanya di pindahkan ke Medan untuk menjalani proses penahanan. Mereka yang ikut berperang dalam mendukung kemerdekaan Indonesia secara tiba-tiba diperlakukan dengan tidak baik. Bapak Nobuaki pun disinyalir ada dalam rombongan ini. Ketika proses penahanan ini, karena pemerintah Indonesia melihat situasi Aceh pada saat itu kemungkinan sedang dalam situasi yang tidak baik, maka para mantan anggota bala tentara Dai-Nippon ini dipaksa untuk pulang kembali ke Jepang. Pada saat itu, kira-kira 60 orang mantan tentara pulang sementara kurang lebih 100 orang lainnya memilih untuk menetap di Aceh. Berkaitan dengan hal itu, Bapak Hayashi Eiichi, seorang penulis buku “Tentara Jepang yang Tinggal (Zanryuu Nihon-Hei)” yang terbit pada tahun 2012 dan diterbitkan oleh Chuo Kouron Shinsha menuliskan sebuah kalimat seperti dibawah ini. “Mereka yang ada di negara asing tidak menemukan bidang kerja yang ada di daerah tempat tinggalnya, oleh karena itu, banyak dari mereka membantu bidang-bidang kerja seperti teknisi, toko kelontong, lahan pertanian yang kecil, atau pasar gelap. Secara detailnya, mereka ada yang menjadi dokter atau tabib tanpa lisensi, teknisi mesin mobil, rumah makan, distributor, atau di toko-toko orang keturunan Tionghoa. Terkadang mereka juga menggunakan beberapa bahan dari alat peledak untuk proses penangkapan ikan. Dari beberapa jenis pekerjaan tersebut, yang paling sukses adalah mereka yang bekerja sebagai dokter atau tabib. Dari kurang lebih 100 orang yang memilih tinggal di Aceh, sepertiga nya adalah bekerja sebagai dokter atau tabib. Bapak Ishikawa Nobuaki pun merupakan seorang dokter tanpa lisensi yang dahulu dikenal dengan nama panggilan “Dokter Jepang”. Kami pun menelusuri kampung yang lumayan jauh di luar kota Meulaboh karena dipercayai disana ada satu warga yang dahulu pernah diobati oleh Bapak Nobuaki ini. Pada waktu itu, Bapak Nobuaki sering membawa serta penerjemah bahasa Aceh, lalu dengan sepedanya berkeliling kampung mencari pasien. Dalam proses pengobatannya menggunakan Bahasa Indonesia. Menurut salah satu warga yang pernah di obati oleh Bapak Nobuaki, beliau pernah disuntikkan Penicilin. Teringat pada jaman itu, di kampung tersebut terdampak suatu wabah yang pada akhirnya Bapak Nobuaki lah yang ikut membantu para warga yang terkena wabah tersebut. Bapak Nobuaki meninggal pada 26 Desember 1964 dengan umur 48 tahun. Sebelum meninggal, beliau menikah dengan warga lokal bernama Ibu Anisa yang umurnya berbeda 17 tahun. 4 orang anak lahir atas buah cinta mereka. Pada saat Bapak Nobuaki meninggal, anaknya yang bernama Bapak Ismail masih berumur 7 tahun dan Bapak Iskandar berumur 2 tahun. Dikemudian hari, Bapak Ismail memiliki pengalaman panjang sebagai kepala desa di Meulaboh dan sekarang Bapak Ismail pun sudah memiliki banyak cucu. Sementara Bapak Iskandar pernah pergi ke pulau Jawa, disana beliau kuliah dan kemudian beberapa bekerja. Namun pada akhirnya Bapak Iskandar kembali ke Meulaboh dan menggeluti bidang yang sama seperti Bapak Nobuaki yaitu membuka apotek juga ikut berkecimpung dalam proyek pembangunan dan jual beli tanah. Anak daripada Bapak Iskandar ini berjumlah lima orang dan salah satunya adalah Rahma. Pada tahun 2004, ketika bencana gempa dan tsunami terjadi di laut Sumatera, semua anggota keluarga Bapak Iskandar selamat. Membentuk Masa Depan dan Menyelesaikan Masa Lalu Pada bulan Maret 2019, Rahma untuk pertama kalinya berkunjung ke tempat kelahiran kakeknya dan menginjakkan kakiknya di Jepang. Pada saat itu salju turun tidak terlalu lebat, padahal biasanya kalau turun salju di daerah tersebut pasti akan menumpuk dengan ketinggian diatas satu meter. Ketika mempersiapkan kunjungan Rahma, saya menjadi paham kenapa tanggapan keluarga sedarah dari pihak Bapak Nobuaki itu dingin karena berdasarkan cerita dari Bapak Iskandar itu sendiri. Menurut Bapak Iskandar sendiri, karena menerima surat yang isinya pernyataan ingin bertemu dari keluarganya di Jepang, maka dengan mati-matian beliau bekerja mati-maitan untuk mendapatkan tiket agar bisa pergi ke Jepang. Akan tetapi, menurut cerita dari pihak keluarga di Jepang sendiri menyatakan bahwa tanpa ada kontak sebelumnya, mereka harus menjemput Bapak Iskandar dan Bapak Ismail ke Tokyo dan membelikannya tiket sekali jalan. Antara kedua belah pihak tersebut tidak ada yang bisa Bahasa Inggris ataupun Bahasa Jepang. Keduanya hanya bisa terdiam di dalam kotatsu yang hangat karena kedinginan. Bapak Niwayama yang pada waktu itu mengirimkan surat kepada Bapak Iskandar dan Bapak Ismail sendiri sedang bertugas di daerah Shikoku sebagai pengajar di Kagawa University. Sayang sekali pada waktu itu mereka berdua tidak dapat bertemu dengan Bapak Niwayama. Saya dapat membayangkan, pada tahun 80an itu, mendapatkan tamu yang beragama Islam dan harus hati-hati pada saat memberikan mereka makanan sementara pada tahun itu orang-orang masih belum akrab dan paham akan agama Islam itu seperti apa. Kemudian mereka mampu menerima keadaan latar belakang agama saudaranya yang datang ke Jepang. Saya sendiri pun sekarang selalu kesulitan apabila ada perwakilan Aceh yang datang ke Jepang, apalagi mengenai masalah makan mereka. Bapak Iskandar dan Bapak Ismail yang pada waktu itu pertama kali pergi ke luar negeri, sulit menemukan makanan yang pas untuk bisa mereka makan. Pada saat itu sudah pasti internet belum ada. Pihak keluarga di Jepang pun mungkin kebingungan dalam menyambut mereka. Dengan adanya pengalaman yang masih belum terlupakan itu, mungkin apabila saya memberitahukan kepada mereka lagi bahwa akan datang anak perempuan daripada saudara kalian yang dulu pernah datang mengunjungi kalian dari Indonesia, mungkin mereka akan melarang kembali. Akan tetapi pada akhirnya, saya dapat menyimpulkan bahwa keluarga Jepang yang menerima kedatangan Rahma dan kami adalah orang-orang yang baik dan terbuka. Akan tetapi, berdasarkan pengalaman saya pribadi, ketika bertemu dengan keluarga Indonesia ataupun dengan kenalan tetangga, rasanya akan berbeda apabila bertemu dengan keluarga Jepang. Mungkin Rahma sendiri pun akan merasakan adanya “dinding” pemisah ketika bertemu mereka dan saya pun dapat merasakan apa yang dirasakan Rahma. Saling berpelukan, sambil mengucapkan“Nanti datang lagi ya!”merupakan kata-kata yang sering diucapkan berkali-kali pada hubungan keluarga di Indonesia, akan tetapi di Jepang sendiri mungkin itu agak canggung. Perbedaan itu mungkin saja bentuk dari perbedaan sudut pandang yang dilihat oleh kedua pihak. Meskipun Rahma melihat ada masa depan tergambar pada saat bertemu dengan dengan keluarga Jepangnya, namun untuk keluarga Jepang yang menyambut Rahma sendiri mungkin saja melihat Rahma sebagai sesuatu hal yang sudah lalu. Pada akhirnya apa yang saya lihat adalah, tanpa menyelesaikan masa lalu dengan kerabatnya sendiri, tapi tidak ada maksud untuk menjalin hubungan untuk masa depan. Akan tetapi, Rahma sendiri sangat bersikap baik dan ceria di depan mereka, setiap keluarga yang Rahma temui sampai di luluhkan hatinya. Keluarga terakhir yang ditemui adalah Adik dari Bapak Niwayama yang bernama Bapak Isao yang tinggal di Prefektur Saitama Kota Saruyama. Sebelum Rahma pergi, Bapak Isao menggenggam tangan Rahma sambil berurai air mata. Wajah yang Terlihat dari Suatu Cerita Pada Januari 2020, saya kembali mengunjungi Aceh untuk menyelesaikan Art Project saya yang sudah berjalan hampir 3 tahun lamanya. Sejak tahun 2016, setiap tahunnya saya pasti menghabiskan waktu di Aceh selama kurang lebih satu bulan setengah. Terpikir oleh saya bahwa tahun ini adalah tahun terakhir, saya pun selalu merasakan bahwa apa saja yang saya lihat dan alami di Aceh yang sudah menjadi biasa justru menjadi sangatlah baru kembali. Suara riuh orang di pagi hari, keadaan di warung kopi, makanan pedas dan kopi manis, kucing-kucing yang berkeliaran, becak, juga senyuman orang-orang Aceh. Teringat juga akan banyak hal yang membuat saya terkaget-kaget ketika saya berkunjung pertama kali ke Aceh dan hal-hal ajaib yang saya alami setelahnya. Khususnya, beberapa art project yang mungkin ada yang tidak bisa di lakukan di Jepang dan hanya bisa dilakukan di Aceh saja. Meskipun dimensinya berbeda, saya dapat merasakan mengenai para mantan bala tentara Dai-Nippon dulu ketika harus pulang kembali ke Jepang pada saat perang berakhir. Pada saat itu, apa sebenarnya yang ada dalam benak mereka? Mengenai apa yang harus dilakukan kedepannya, saya pun berdiskusi dengan Bapak Watanabe. “Karena Bapak Kadowaki sudah memberikan banyak semangat kepada anak-anak muda Aceh, selanjutnya untuk tempat berkegiatan, bukankah lebih baik dicoba juga di Aceh dan beberapa daerah lain Indonesia?”,ujarnya. Meskipun sebelumnya sudah saya jelaskan mengenai alasan kenapa banyak mantan anggota bala tentara Dai-Nippon untuk memilih tinggal di Indonesia dan tidak pulang ke Jepang, tapi ada lagi alasan lainnya, yaitu tiada lain adalah untuk membebaskan Asia. Mereka sudah memberikan semangat kepada masyarakat muda Aceh, sambil mengajak untuk berusaha agar tujuan kemerdekaan dapat tercapai, mereka rela untuk tidak pulang ke Jepang untuk membantu perang kemerdekaan di Indonesia. Akhirnya, kembali kami berkunjung ke Meulaboh. Ketika kami pergi berkunjung ke pesisir pantai Meulaboh, sungguh tidak pernah kami lihat di Jepang sekali pun, Pelangi besar seperti yang di lihat pada waktu kami berkunjung kesana. Mungkin pada waktu itu, Bapak Nobuaki pun pernah melihat pelangi besar yang tidak pernah beliau lihat sebelumnya di Jepang. Pada malam harinya, kami di undang berkumpul dikelilingi oleh keluarga besar Bapak Ismail dan Bapak Iskandar untuk makan malam bersama. Sangat menyenangkan, hangat, dan membuat hati ini nyaman. Pasti lah perasaan itu yang diharapkan oleh Rahma dan semuanya ketika mereka disambut oleh keluarga di Jepang, oleh orang Jepang. Mungkin saja dari pengalaman saya itu juga, Bapak Nobuaki secara tidak langsung memberikan pesan kepada saya. Saya pun kembali berpikir, bahwa apa yang telah saya lakukan selama ini dengan mereka yang diwarisi cerita tentang perang dunia kedua itu, secara tidak langsung telah merubah cerita hidup mereka juga. Semua yang sudah saya ceritakan di atas, saya sampaikan dan saya laporkan di depan 200 mahasiswa Universitas Teuku Umar pada saat saya melakukan kegiatan talk show bersama mereka. Pada saat sesi penayangan spoiler film dokumenter yang berjudul “Kakek Saya Memutuskan untuk Tinggal di Indonesia”, Rahma yang duduk di samping saya pun ikut menceritakan laporan kegiatannya selama kunjungan ke Jepang. Pada saat talk show berakhir, saya menceritakan akhir kisah panjang itu. “Kalau saya pulang ke Jepang, saya akan menemui orang tua saya yang sudah saya tidak temui selama 30 tahun itu”, itulah tekad saya dan itulah akhir episode dari kisah perjalanan yang tertulis pada catatan hidup saya. Setelah kegiatan talk show berakhir di Universitas Teuku Umar itu, Rahma pun berpesan kepada saya, “kalau sudah bertemu dengan orang tua Bapak Kadowaki, kasih tau saya ya!”. Lalu, saya pun menjawab, “Pasti!”. Namun, sayang sekali, karena pengaruh virus corona yang melanda Jepang ini, saya sampai sekarang masih belum bisa melaksanakan janji saya untuk menemui kedua orang tua saya. Sebelum saya pergi meninggalkan Meulaboh, saya menemui Bapak Iskandar kembali. Banyak kami bercerita dan banyak kata yang muncul, salah satunya adalah kata terakhir yang membuat saya bahagia. “Terima kasih banyak karena dari pertama mengetahui kami memiliki keturunan keluarga Jepang, anda sudah berusaha berkunjung dan pergi kesana kemari untuk mencari tahu tentang apa yang berkaitan dengan keluarga kami. Padahal sebelumnya tidak ada pernah orang yang mau berusaha sampai sejauh itu untuk kami. Saya pun menjadi tahu sejarah dari Ayah saya. Anda pun sudah membawa anak perempuan saya pergi ke Jepang, menyatukan jalinan keluarga yang jaraknya jauh sekali. Terima kasih banyak. Saya sangat bersyukur sudah bertemu dengan anda semua”, Begitulah ucapan Bapak Iskandar kepada kami semua sebelum meninggalkan Meulaboh. |
■試写会主催・お問合せ:門脇篤 [email protected] 080-4357-7035
■試写会共催:NPO法人地球対話ラボ、アチェ・コミュニティアート・ファウンデーション ■ドキュメンタリー製作:アチェ・ジャパン・コミュニティアート・フィルム(NPO法人地球対話ラボ、アチェ・コミュニティアート・ファウンデーション) ■助成:仙台市市民文化事業団、公益財団法人トヨタ財団、一般財団法人YSコミュニティー財団、国際交流基金アジアセンター ■Produksi Aceh=Japan Community Art film (NPO Chiku Taiwa Labo Aceh Community Art Foundation) ■Didukung oleh The Toyota Foundation The Japan Foundation Asia Center YS Ichiba Community Foundation Sendai City Cultural Foundation |